Kita harus berpandangan positif dan optimis terhadap banyak sekali masalah. Bukan hanya membicarakan dan mencela tetapi juga berusaha untuk memperbaikinya. Mungkin kita semua sudah mengerti permasalahan yang dialami pendidikan di negeri ini, khususnya pendidikan sekolah dasar. Berita terbaru yang ditulis di sekolahdasar.net menyatakan 75 persen guru sekolah dasar (SD) masih belum sarjana padahal berdasarkan UU Guru dan Dosen guru minimal D-4 atau sarjana.
Kualifikasi pendidikan dan predikat sarjana tentu tidak terlalu berarti ketika seorang sudah berniat dan menasbihkan dirinya sebagai guru yang siap untuk menjadi pendidik. Saat seorang menyatakan diri bersedia menjadi guru, dikala itulah beliau telah rela mempertaruhkan seluruh kehidupannya menjadi orang yang bertanggungjawab terhadap jati diri (mental, spiritual, kebijaksanaan pekerti, dan intelektual) anak.
Setiap orang bisa menjadi guru tanpa harus berbakat, asalkan beliau mau terus untuk belajar. Apa gunanya ijasah dan nilai akademis kalau tidak tercermin dalam etos kerja dalam kesehariaannya. Bisa jadi mereka para pendidik yang tidak diatur pribadi oleh penyelenggara pendidikan negeri ini lebih kreatif dengan perilaku tenggang rasa dan siap membuat rencana kemajuan untuk anak didiknya. Atau barang kali mereka lebih tulus dengan tidak pernah mengeluh beban berat yang dipikulnya di depan anak didiknya.
Tetapi permasalahan pendidikan sekolah dasar tidak hanya berhenti pada kualifikasi pendidikan saja, tetapi yang lebih memilukan yakni hampir 95 persen tempat kabupaten/kota di Indonesia kekurangan guru SD. Bagaimana mungkin bisa mendapat hasil maksimal kalau satu guru harus mengisi 3 kelas. Belum lagi tidak meratanya tenaga pendidik. Di tempat terpencil, terluar, terdalam dan tertinggal masih banyak anak yang belum bisa menikmati pendidikan alasannya ketiadaan guru.
Beruntunglah di negeri ini masih mempunyai perjaka yang siap untuk berjuang untuk negerinya. Masih ada sarjana rela meninggalkan pilihan pekerjaan sehabis lulus dengan menjadi guru SD di tempat tepercil, menjadi pengajar muda untuk Indonesia Mengajar. Atau menjadi sarjana pendidik untuk pengabdi di tempat Terdepan, Terluar & Tertinggal (SM-3T) dengan menjadi guru selama setahun.
Bukankah pendidikan khususnya pendidikan dasar yakni hak semua anak yang wajib kita berikan. Sejenak kita lihat pendidikan di tempat yang belum tersentuh pendidikan, Anak cerdas berbakat bisa saja terlahir dari keterbatasan. Banyak anak dari tempat terpencil yang bisa menunjukkan pujian untuk negeri ini atau anak seusianya.
Belajar dari Ki Hajar Dewantara dengan Taman Siswanya dan Dewi Sri dengan Sekolah Istrinya yang berhasil membudayakan insan dengan pendidikan dengan memakai cara mereka sendiri biar kapasistasnya berkembang. Mereka berhasil membuat insan yang bisa untuk meraih kemerdekaannya sendiri.
Berhasil atau tidak, maju mundurnya pendidikan tidak bisa hanya diserahkan pada guru. Walau memang guru mempunyai peranan penting dalam memajukannya. Ketika Ki Hajar Dewantara bisa membuat insan Indonesia yang berhasil untuk memerdekakan bangsanya. Kini saatnya untuk memerdekakan pendidikan untuk semua anak. Pendidikan yang tidak tersandera kepentingan kelompok. Merdeka untuk mendapat pendidikan semestinya didapatkannya. Bukan hanya jumlah pendidik tetapi juga pendidik yang bisa memenuhi kebutuhan dan berbagi potensinya, dengan caranya sendiri.
Ini hanya goresan pena refleksi dari seorang yang juga bertanggung jawab untuk memerdekakan pendidikan, Anda sanggup menunjukkan solusi, komentar atau kritikan dengan menuliskannya di kotak komentar. Dirgahayu Indonesiaku, Merdeka!
Artikel ini ditulis oleh @kurniasepta.
Kualifikasi pendidikan dan predikat sarjana tentu tidak terlalu berarti ketika seorang sudah berniat dan menasbihkan dirinya sebagai guru yang siap untuk menjadi pendidik. Saat seorang menyatakan diri bersedia menjadi guru, dikala itulah beliau telah rela mempertaruhkan seluruh kehidupannya menjadi orang yang bertanggungjawab terhadap jati diri (mental, spiritual, kebijaksanaan pekerti, dan intelektual) anak.
Setiap orang bisa menjadi guru tanpa harus berbakat, asalkan beliau mau terus untuk belajar. Apa gunanya ijasah dan nilai akademis kalau tidak tercermin dalam etos kerja dalam kesehariaannya. Bisa jadi mereka para pendidik yang tidak diatur pribadi oleh penyelenggara pendidikan negeri ini lebih kreatif dengan perilaku tenggang rasa dan siap membuat rencana kemajuan untuk anak didiknya. Atau barang kali mereka lebih tulus dengan tidak pernah mengeluh beban berat yang dipikulnya di depan anak didiknya.
Tetapi permasalahan pendidikan sekolah dasar tidak hanya berhenti pada kualifikasi pendidikan saja, tetapi yang lebih memilukan yakni hampir 95 persen tempat kabupaten/kota di Indonesia kekurangan guru SD. Bagaimana mungkin bisa mendapat hasil maksimal kalau satu guru harus mengisi 3 kelas. Belum lagi tidak meratanya tenaga pendidik. Di tempat terpencil, terluar, terdalam dan tertinggal masih banyak anak yang belum bisa menikmati pendidikan alasannya ketiadaan guru.
Beruntunglah di negeri ini masih mempunyai perjaka yang siap untuk berjuang untuk negerinya. Masih ada sarjana rela meninggalkan pilihan pekerjaan sehabis lulus dengan menjadi guru SD di tempat tepercil, menjadi pengajar muda untuk Indonesia Mengajar. Atau menjadi sarjana pendidik untuk pengabdi di tempat Terdepan, Terluar & Tertinggal (SM-3T) dengan menjadi guru selama setahun.
Bukankah pendidikan khususnya pendidikan dasar yakni hak semua anak yang wajib kita berikan. Sejenak kita lihat pendidikan di tempat yang belum tersentuh pendidikan, Anak cerdas berbakat bisa saja terlahir dari keterbatasan. Banyak anak dari tempat terpencil yang bisa menunjukkan pujian untuk negeri ini atau anak seusianya.
Belajar dari Ki Hajar Dewantara dengan Taman Siswanya dan Dewi Sri dengan Sekolah Istrinya yang berhasil membudayakan insan dengan pendidikan dengan memakai cara mereka sendiri biar kapasistasnya berkembang. Mereka berhasil membuat insan yang bisa untuk meraih kemerdekaannya sendiri.
Berhasil atau tidak, maju mundurnya pendidikan tidak bisa hanya diserahkan pada guru. Walau memang guru mempunyai peranan penting dalam memajukannya. Ketika Ki Hajar Dewantara bisa membuat insan Indonesia yang berhasil untuk memerdekakan bangsanya. Kini saatnya untuk memerdekakan pendidikan untuk semua anak. Pendidikan yang tidak tersandera kepentingan kelompok. Merdeka untuk mendapat pendidikan semestinya didapatkannya. Bukan hanya jumlah pendidik tetapi juga pendidik yang bisa memenuhi kebutuhan dan berbagi potensinya, dengan caranya sendiri.
Ini hanya goresan pena refleksi dari seorang yang juga bertanggung jawab untuk memerdekakan pendidikan, Anda sanggup menunjukkan solusi, komentar atau kritikan dengan menuliskannya di kotak komentar. Dirgahayu Indonesiaku, Merdeka!
Artikel ini ditulis oleh @kurniasepta.